#DARKMIN 2 : DENTING TERAKHIR

Mengikuti posting sebelumnya, di minggu kedua tema DARKMIN adalah Lonceng Kematian yang lagi-lagi tidak berjodoh dengan saya. Kali ini judul tulisan saya DENTING TERAKHIR. Lanjutkan membaca “#DARKMIN 2 : DENTING TERAKHIR”

#DARKMIN 1 : MATA SANTI

Akhir agustus kemarin penerbit BENTANG mengadakan lomba menulis cerita singkat, DARKMIN alias Darklit Mini (tulisan maksimal berjumlag 300 kata), dimana setiap peserta yang berpartisipasi harus menuliskannya di rakcerita.com. Sayang, sepertinya saya tidak berjodoh karena setiap kali upload tidak pernah sukses, bahkan hingga minggu kedua.
Karena sayang, saya muat di sini tanpa mengedit sama sekali. Judulnya MATA SANTI Lanjutkan membaca “#DARKMIN 1 : MATA SANTI”

Mother & Daughter

image

Jejak para aktris terkenal dan bertalenta yang turut di tapaki putri mereka bukan lagi hal baru dalam industri showbiz, termasuk di Indonesia. Sebut saja Ade Irawan yang diikuti Dewi Irawan dan Ria Irawan, Mieke Wijaya oleh Nia Zulkarnaen, Elvie Sukaesih oleh Dhawiya, Ratna Sarumpaet oleh Atiqah Hasiholan serta masih banyak lagi. Belakangan, banyak putri para pesohor perempuan yang berjaya di tahun 90-an mulai nongol, namun sayangnya banyak dari mereka hanya memanfaatkan ketenaran masing-masing ibu untuk sekedar “ngartis” di media sosial seperti Twitter, Path, atau Instagram. Lantas bagaimana dengan ranah Hollywood? Berikut saya posting beberapa.

1. Meryl Streep dan Mamie Gummier
image

Eksistensi legenda hidup Hollywood, Meryl Streep, atas capaian prestasinya yang gemilang mulai ditiru oleh salah satu putrinya, Mamie Gummier, dengan berperan dalam serial televisi Apakah ia akan secemerlang karir ibunya? Waktu yang menjawab. Lanjutkan membaca “Mother & Daughter”

Review : A Girl Walks Home Alone At Night

image

Saya penggemar film horror, saya suka film bergaya klasik, saya suka film noir. A Girl Walks Home Alone at Night adalah film horror, bergaya klasik, juga noir, jadi tak ada alasan untuk tidak menontonnya, bukan? Jangan terkecoh oleh judulnya, film ini bukan keluaran Hollywood, melainkan hasil produksi Iran. Menonton film ini, bagi saya, serasa membaca buku penuh deskripsi dengan alur lambat dan minim dialog. Namun di sanalah letak tantangan yang coba ditaklukan oleh sutradara Ana Lilly Amirpour agar tiga hal tersebut tak membuat penonton bosan atau bahkan tertidur saking lamban dan sunyinya plot dari A Girl Walks Home Alone at Night yang sekilas mengingatkan saya pada film Korea, 3 Irons.

Berkisah tentang vampir perempuan muda tanpa nama (Sheila Vand) yang berkeliaran malam hari di kota yang nyaris senyap untuk memangsa korban lelaki dan mempreteli harta mereka. Di tempat tersebut tinggal pula Arash bersama ayahnya, Hossein, yang pemadat dan kakaknya, Atti, yang selain pecandu juga doyan seks. Lalu ada Saydah sang “princess”, Saeed, transgender dan seorang anak lelaki. Kematian Atti menjadi awal kisah ini, lalu mengalirlah berbagai konflik. Dengan cermat Amirpour menggali bagaimana kesepian dihadapi para tokoh dalam A Girl Walks Home Alone at Night. Ada yang serius, ada yang sepintas tampak konyol, tapi apa lagi yang bisa dilakukan di tempat sesunyi kota tersebut. Terlepas dari kealotan jalan cerita, A Girl Walks Home Alone at Night punya kelebihan pada unsur sinematografi dan art direction. Satu hal yang jadi catatan saya, film ini terlalu berkiblat ke barat, selain mesin-mesin kilang, aroma timur tengahnya kurang kentara, baik dari seting tempat, musik, maupun gaya penceritaan, tapi jika melihat para produser di ending credit-nya yang di dominasi nama-nama barat, bisa kita maklumi. Lanjutkan membaca “Review : A Girl Walks Home Alone At Night”

Dear Diary

sebab sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa

Diary,
Hari ini ayah menikahi perempuan itu. Janda beranak dua itu. Ibu dari gadis-gadis cantik yang tetangga sebut begitu terpelajar namun punya kerendahan hati mengagumkan. Dalam pesta perayaan keduanya hadir serupa bulan kembar di gelap malam, sementara aku bintang, satu diantara sekian hamparan. Biasa. Tak terperhatikan. Para saudagar dan putra-putra mereka mencuri lirik dengan sering. Dan kau tahu Diary? Mereka terlihat begitu menikmati, namun bertindak seolah tak tahu apa yang tengah terjadi. Cih! Lihat saja, Diary, lihat saja. Suatu hari aku yang akan mendapat tatap tersebut. Tatap sepasang mata yang melebihi seluruh pasang mata pria di antero negeri ini.

Diary,
Betapa memuakan! Ketiga jalang itu mulai menginvasi rumahku dan mencuri perhatian ayahku. Milik-milikku! Dimulai beberapa hari lalu, saat kami sarapan bersama, ketiganya berakting seolah sungkan duduk bersama. Oh..oh… formula standar dari para tiri. Dan ayahku yang baik hati, yang tidak tega melihat orang menderita tentu saja berusaha menyenangkan mereka dan berkata bahwa semua adalah keluarga yang tak mengenal beda-beda. Lalu ia memintaku berbagi gaun untuk kedua putri barunya. Akurlah dengan mereka, pinta ia. Enak saja! Aku tak kan sudi melakukannya. Tentu aku akan memberi mereka beberapa, tapi yang bekas. Sebab begitulah mereka, bekas! Sisa! Ibu tiriku bekas lelaki lain yang membawa jejaknya dalam dua anak menyebalkan itu! Mereka yang sok meyapa! Mereka yang sok bertanya. Aku tahu niat dibalik semua. Mereka ingin mengubah kasta, mengubur aib dalam bentuk keluarga baru. Dasar loyang! Mereka pikir akan mudah naik kelas menjadi emas di rumah ini setelah bersikap, SEOLAH, baik padaku? Jangan harap! Kau tahu Diary, orang-orang sial itu bergeming dalam kemanisan dan keluguan ala cendikia tiap kali kujawab ketus setiap kata mereka. Seumpama kuabaikan keberadaan ketiganya, kuanggap mereka tak pernah ada, apakah mereka sanggup menghadapinya? Kita lihat.

Diary,
Oh Diaryku, ternyata aku salah langkah. Startegi ekskomunikasi adalah bumerang. Kemarin malam ayah mendatangiku, bertanya, bagiku terasa sebagai teguran kasar, mengapa istri dan anak-anak barunya seolah makin kikuk dan takut untuk melakukan hal-hal rumah tangga. Sebelum kujawab bahwa aku tidak tahu apa-apa bahkan tidak pernah bertukar kata dengan mereka, ayah mendahuluiku, bahwa ketiganya sepakat berpendapat merasa lebih seperti pembantu rumah tangga yang bermajikan nona bisu. Lalu ia menasihatiku panjang lebar yang intinya aku harus mulai bisa menerima mereka sebab ia menyayangi dan menerima ketiganya. Sungguh menyakitkan, Diary. Lanjutkan membaca “Dear Diary”

Review : novel Tarian Bumi – Oka Rusmini

image

Buku Tarian Bumi saya beli pada akhir januari, tersimpan, dan baru dibaca awal maret ini. Lalu saya menyesal. Ya, itulah yang saya rasakan setelah membacanya. Menyesal mengapa baru sekarang, menyesal mengapa novel keren ini begitu pendek hingga saya melahapnya dalam hitungan jam saja.

Berkisah tentang tiga generasi perempuan dengan Ida Ayu Telaga Pidada sebagai pusat, dan berpintal secara pararel dengan kisah Ibunya, Luh Sekar (Jero Kenanga), juga neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, Tarian Bumi mengupas lapis demi lapis kehidupan para perempuan Bali yang masih terikat dalam sistem patriarki nan kental. Juga tentang bagaimana mereka berkuasa (dalam keterbatasan gerak) atas tubuh, mimpi, ambisi, dan harapan beserta resiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil. Tak ketinggalan benturan cara pandang masing-masing tokoh terhadap generasi di atas, dibawah, dan seusia. Secara garis besar dan linier begini ceritanya:

Ida Ayu Sagra Pidada terlahir sebagai bangsawan murni dan berayah seorang pendeta yang otomatis menempatkan posisinya lebih tinggi dibanding perempuan lain di griya*, sangat mengagungkan nilai cinta dan status. Sayang ia hanya keturunan tunggal, hingga keluarga yang khawatir kemudian menjodohkannya dengan seorang lelaki miskin namun terpelajar, Ida Bagus Tugur. Siapa nyana Dayu* Sagra yang mensakralkan cinta benar-benar terpikat pada pria yang kemudian naik derajatnya ini. Cinta pula yang kemudian menjerat sang perempuan ke dalam lingkar masokis. Si lelaki ternyata sebelumnya telah beristri, perempuan sudra beranak dua janda pula, hal yang bagi Dayu Sagra serasa dicoreng harkat kebangsawanannya, belum lagi kesibukan suami yang makin hari makin padat membuat keduanya jarang bersua, tapi anehnya justru membuat Dayu Sagra makin mencintai Ida Bagus Tugur. Kasih tak sampai ini kemudian ia lampiaskan melalui kuasanya sebagai Brahmana murni. Dibuatnya Ida Bagus Tugur tunduk oleh amarah, satu deham saja bisa membuat lelaki ini diam seribu kata dan hidup di bawah ketiaknya. Buah perkawinan mereka melahirkan Ida Bagus Ngurah Pidada yang kelak, juga, menikahi seorang perempuan sudra bernama Luh Sekar. Hal yang membuat Dayu Sagra makin merana.
Lanjutkan membaca “Review : novel Tarian Bumi – Oka Rusmini”

Interview with Hendri Yulius

Hendri Yulius Cover

Di bulan Nopember kemarin saya mereview sebuah buku kece, Lilith’s Bible, karya Hendri Yulius. Desember ini saya berkesempatan untuk berbincang dengannya seputar proses kreatif buku tersebut. Dan, (saya tidak suka kata ini, namun terjadi entah untuk tujuan apa) ‘kebetulan‘ berbarengan dengan tema bulan ini tentang LGBT dimana ia juga turut menjadi salah seorang pegiatnya, maka ada juga bahasan tentang hal tersebut. Penasaran? Langsung saja simak wawancara Crimson Strawberry dengan Hendri Yulius yang dilakukan via surel.

Apa yang ingin disuarakan dalam buku Lilith’s Bible?

Sebenarnya, saya mulai menulis Lilith’s Bible saat saya masih duduk di bangku kuliah, kira-kira umur 19 tahun. Pada saat itu, saya sedang getol-getolnya mendalami teori gender, feminisme, dan seksualitas. Karena itulah, saya terdorong untuk coba menulis buku tentang ini, terutama fiksi, karena bagi saya, fiksi terkadang bisa menjadi medium yang lebih jujur untuk menceritakan sesuatu ketimbang non-fiksi. Apa yang ingin disuarakan dalam buku Lilith’s Bible adalah tentang perempuan dan mitos-mitos yang menyelimutinya, seperti mitos keperawanan, kesucian perempuan, dan lain-lain yang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan. Pada saat yang sama, saya menemukan bahwa cerita horor nusantara selalu memiliki karakter hantu perempuan yang mengerikan. Di televisi dan film pun, saya selalu melihat hantu perempuan selalu lebih populer dan menyeramkan ketimbang hantu lelaki. Ada apa ini? Lantas, saya kepikiran, kenapa nggak saya coba menulis dari sudut pandang hantu perempuan ini?

Kenapa penting untuk disuarakan?

Penting karena selama ini, isu-isu semacam ini, seperti perkosaan, sunat perempuan, seksualitas, juga mitos keperawanan seringkali dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan. Bagi saya, isu yang terkait dengan tubuh dan seks adalah isu yang politis. Dalam artian, isu ini menjadi bagian dari identitas diri kita sendiri, terutama dalam hal ini perempuan. Bagaimana kita bisa memaknai diri kita sendiri, bila kita tak paham dengan tubuh dan seksualitas kita sendiri? Bagaimana kita bisa memahami diri kita sendiri, bila bicara seks saja ditabukan? Padahal, sejak kecil, kita sudah berurusan dengan gender dan seksualitas, mulai bagaimana kita dibedakan sesuai dengan alat kelamin, juga bagaimana kita dididik dalam aturan-aturan dan norma, seperti warna baju yang harus dikenakan (biru untuk lelaki, pink untuk perempuan), gaya bertingkah laku (perempuan harus lembut, sementara lelaki dituntut lebih macho) dan lain-lain.

Dalam proses pembuatan, buku ini memakan waktu hingga 4 tahun untuk rampung, apa yang menyebabkan hingga selama itu?

Yang membuat proses ini makan waktu selama itu adalah Lanjutkan membaca “Interview with Hendri Yulius”

Review Film: A Single Man

wpid-A-Single-Man-Poster.jpeg

Tadinya untuk review film segmen G, saya akan membahas MILK, film biopic tentang politisi Harvey Milk yang pada tahun 2011 lalu mengantarkan Sean Penn meraih Oscar ketiganya. Film garapan Gus Vant Sant ini juga dibintangi oleh Josh Brolin dan James Franco. Tapi karena setelah mencari-cari tak ada, dan ngubek-ngubek online untuk mengunduh juga bujubusyet belibetnya (atau saya yang terlampau gaptek, barangkali?). Jadinya malah tak jadi.

Sebagai pengganti, saya bahas satu film yang tak kalah keren dari berbagai sisi. Mau apa, Naskah? Dua jempol. Akting? Juara. Kostum? Kece. Art direction? Mantap. Sutradara? Wokeh. A Single Man. Lanjutkan membaca “Review Film: A Single Man”